Tiga Pelajaran Penting dalam Periode Reformasi Konstitusi di Indonesia



 3 Pelajaran Penting Dlm reformasi Konstitusi Indonesia


Abstrak
Dalam periode reformasi konstitusi Republik Indonesia yang dimulai sejak proses amandemen pertama UUD 1945 pada tahun 2000 mewariskan banyak pelajaran penting dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia. Setidaknya ada 3 (tiga) pelajaran penting terkait dengan dinamika konstitusi dan perundang-undangan di Indonesia pasca reformasi konstitusi, yakni suksesi kepemimpinan 1998, mewujudkan cita-cita peradilan satu atap, dan menciptakan regulasi bagi tindak pidana terorisme. Ketiga hal tersebut dapat kita rasakan saat ini dan di kemudian hari sebagai pelajaran yang sangat berharga dalam mengembangkan struktur ketatanegaraan dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

A. Pendahuluan
Dari sekian banyak hal-hal baru yang terjadi dalam kurun waktu 1 (satu) dasawarsa reformasi konstitusi, terdapat 3 (tiga) pelajaran penting yang sangat signifikan terkait dengan dinamika konstitusi dan perundang-undangan di Indonesia, yakni suksesi kepemimpinan 1998, mewujudkan cita-cita peradilan satu atap, dan menciptakan regulasi bagi tindak pidana terorisme. Ketiga peran ini kelak di kemudian hari mempunyai pengaruh yang besar terhadap ketatanegaraan Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan dinamika peraturan perundang-undangan.

B. Suksesi Kepemimpinan Secara Damai
Periode Mei 1998 merupakan salah satu tahapan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia yang sangat signifikan dan mempunyai pengaruh yang besar bagi sistem ketatanegaraan Republik Indonesia di kemudian hari. Pada periode Mei 1998 inilah sesungguhnya merupakan detik-detik terakhir kepemimpinan Presiden Soeharto, hingga akhirnya beliau mengumumkan “pernyataan berhenti” pada tanggal 21 Mei 1998.


Undang-Undang Dasar yang berlaku pada saat itu adalah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD) sebelum amandemen. Pasal 8 UUD menyebutkan bahwa “jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa waktunya”. Jika kita melakukan analisis terhadap ketentuan Pasal 8 UUD 1945 ini maka hanya ada 3 (tiga) kemungkinan atau alasan berakhirnya jabatan seorang Presiden Republik Indonesia, yakni mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya.

Argumentasi yang paling memungkinkan pada saat itu untuk mengakhiri jabatan Presiden Republik Indonesia adalah “berhenti”. Namun, yang menjadi kendala saat itu adalah Presiden Soeharto tidak mungkin menyampaikan pernyataan berhenti di depan sidang istimewa MPR sebagaimana yang lazim dilakukan di gedung MPR/DPR pada kondisi normal karena Gedung DPR/MPR pada waktu itu sudah diduduki oleh massa dan mahasiswa.

Pada saat itulah, Profesor Yusril Ihza Mahendra mengusulkan kepada Presiden Soeharto, dengan alasan keadaan yang darurat, agar menyatakan (declare) berhenti secara sepihak tanpa laporan pertanggungjawaban dan/atau persetujuan pihak manapun. Presiden Soeharto setuju dengan pilihan kebijakan ini demi stabilitas nasional dan akhirnya diucapkanlah pernyataan berhenti tersebut pada tanggal 21 Mei 1998. Selanjutnya, untuk mengisi kekosongan jabatan presiden, Pasal 8 UUD mengatur bahwa Wakil Presiden secara otomatis menjadi Presiden. 

Namun, secara prosedural, masih terdapat kendala yakni bahwa menurut Tap MPR Nomor VII tahun 1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia berhalangan, Wakil Presiden mengucapkan sumpah di hadapan DPR. Jika hal itu tidak dapat dilakukan maka dilakukan di depan Mahkamah Agung. Oleh karena itu, Saadilah Mursyid selaku Menteri Sekretaris Negara kemudian menghubungi Sarwata selaku Ketua Mahkamah Agung agar hadir di Istana Merdeka guna menyaksikan pernyataan berhenti Presiden Soeharto dan pengucapan sumpah Wakil Presiden B.J.Habibie menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-3. Skenario ini pada akhirnya juga diakui sah dan konstitusional oleh Mahkamah Agung.

Pengalaman pada suksesi kepemimpinan nasional tahun 1998 menjadi salah satu pelajaran yang sangat berharga bagi kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, sehingga pengaturan mengenai berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dan segala konsekuensinya termasuk salah satu materi muatan konstitusi yang diubah dalam amandemen undang-undang dasar.

Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) mengatur bahwa Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Pengaturan dalam Pasal 8 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 secara umum sama dengan Pasal 8 UUD, hanya saja Pasal 8 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 menambahkan kata “diberhentikan” dan mengganti frase “...sampai habis waktunya” dengan “...sampai habis masa jabatannya”. Dengan adanya penambahan kata “diberhentikan” maka UUDNRI Tahun 1945 membedakan secara tegas istilah “berhenti” dan “diberhentikan” sebagai alasan berakahirnya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Adapun penggantian frase “...sampai habis waktunya” dengan “...sampai habis masa jabatannya” bertujuan agar lebih jelas maksudnya karena habisnya masa jabatan lebih terukur waktunya, sedangkan habisnya masa waktu tidak jelas ukuran waktunya.

Salah satu kemajuan yang ada dalam UUDNRI Tahun 1945 jika dibandingkan dengan UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah adanya pengaturan mengenai konsekuensi dari berakhirnya masa jabatan Presiden. Selain itu, Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 mengatur pula solusi terhadap kemungkinan terjadinya kekosongan jabatan Wakil Presiden serta kondisi jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Substansi ini tidak ada dalam UUD 1945 sebelumnya.

Pasal 8 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 mengatur bahwa dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu 60 (enam puluh) hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Dengan adanya ketentuan ini maka jabatan Wakil Presiden juga tidak boleh kosong. Presiden secara konstitusional diwajibkan untuk secara subyektif menentukan 2 (dua) orang calon wakil presiden (pengganti) yang selanjutnya nanti dipilih oleh anggota MPR untuk menjadi seorang Wakil Presiden. Pengaturan substansi Pasal 8 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 ini juga meliputi kondisi kekosongan jabatan Wakil Presiden yang terjadi dalam hal sang Wakil Presiden telah dilantik menjadi Presiden karena sang Presiden (sebelumnya) mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya.

Pasal 8 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 mengatur bahwa jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, Pelaksana Tugas Kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh hari) setelah itu, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya. J

ika kita mengambil contoh kasus Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 maka dalam hal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden Republik Indonesia dan Boediono selaku Wakil Presiden Republik Indonesia mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan dan setelah Pelaksana Tugas Kepresidenan melaksanakan tugasnya selama 30 (tiga puluh) hari maka MPR tidak mempunyai pilihan lain selain memilih pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto atau pasangan M. Jusuf Kalla-Wiranto untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Skenario suksesi kepemimpinan nasional secara damai pada tahun 1998 juga di kemudian hari menjadi inspirasi lahirnya Pasal 9 ayat (2) UUDNRI 1945 yang mengatur bahwa “Jika MPR atau DPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung”.



C. Memberantas Terorisme melalui Peraturan Perundang-undangan

Dengan menggunakan kewenangan konstitusional berdasarkan Pasal 22 UUDNRI Tahun 1945, Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 18 Oktober 2002 menetapkan:
Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; dan
Perppu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakukan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002.

Alinea ke-IV Pembukaan UUDNRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia diamanatkan untuk selalu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Untuk melaksanakan amanat tersebut, dalam Keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Profesor Yusril Ihza Mahendra selaku Menteri Kehakiman dan HAM RI atas nama Pemerintah Republik Indonesia, dikemukakan bahwa terorisme adalah suatu kejahatan yang digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara yang biasa sebagaimana menangani tindak pidana biasa (ordinary crimes) seperti pencurian, penganiayaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, Pemerintah Republik Indonesia, sebagai pihak yang bertanggungjawab atas keselamatan bangsa dan negara, memandang perlu untuk segara mungkin memiliki landasan hukum yang kokoh dan komprehensif untuk memberantas tindak pidana terorisme.

Berdasarkan Pasal 1 Perppu Nomor 2 Tahun 2002 maka ketentuan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinyatakan berlaku terhadap peristiwa peledakan bom yang terjadi di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Hal ini jelas merupakan suatu pemberlakuan surut yang umumnya sangat ditentang dalam banyak teori hukum pidana.

Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dijamin sebagai salah satu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun berdasarkan Pasal 28I ayat (1) UUDNRI Taun 1945. Namun, pasal kunci dari seluruh pengaturan dan pelaksanaan HAM di Indonesia sejatinya adalah Pasal 28J ayat (2) UUDNRI Tahun 1945, sehingga jika kita mengacu pada maksud (original intent) pembentuk UUDNRI Tahun 1945 maka jelaslah bahwa sejatinya pengaturan dan pelaksanaan HAM di Indonesia dapat dibatasi. Sistematika pengaturan mengenai HAM dalam UUDNRI Tahun 1945 ini sejalan dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan substansi pembatasan hak asasi manusia dalam Pasal 29 ayat (2) sebagai pasal penutup. Dalam pergaulan internasional, secara yuridis juga diakui bahwa penegakan hak asasi manusia (HAM) merupakan suatu konsep yang dalam implementasinya tidak bersifat absolut, setidaknya dalam Pasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights dan Pasal 8 Deklarasi Cairo Mengenai Hak-hak Asasi Islami yang diselenggarakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia, baik dalam UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, nampak jelas adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang.

Kembali ke dalam konteks pemberantasan tindak pidana terorisme, Pemerintah Republik Indonesia sangat prihatin atas banyaknya korban dan meluasnya dampak sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional yang ditimbulkan akibat dari peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002. Oleh karena itu, dengan pertimbangan bahwa terorisme digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sekaligus juga sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) serta demi kadilan (balance principle of justice) dan pertimbangan-pertimbangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 maka Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu diberlakusurutkan namun hanya terbatas untuk diterapkan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap para pelaku peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 dan tidak untuk kasus-kasus yang lain yang menjadi ruang lingkup pengaturan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2002.

Peran dan posisi Profesor Yusril Ihza Mahendra dalam konteks ini juga tidaklah ringan karena selain menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM RI, beliau juga merupakan salah satu pimpinan partai Islam. Selain telah tercantum dalam Keterangan Pemerintah, Profesor Yusril Ihza Mahendra juga berperan aktif mensosialisasikan kebijakan pemerintah dalam berbagai forum pada waktu itu terkait dengan tindak pidana terorisme bahwa Perppu tersebut tidaklah ditujukan mengkriminalisasi para tokoh Islam “garis keras” dengan statement tegas bahwa “tidak mungkin Pemerintah akan mengambil kebijakan yang bertentangan dengan mayoritas penduduk negaranya”. Selain itu, ditegaskan pula bahwa Perppu ini bukanlah “reinkarnasi” dari Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.

D. Mewujudkan Peradilan Satu Atap
Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ajaran Montesquieu mengenai tujuan dan perlunya “pemisahan” kekuasaan yaitu untuk menjamin adanya dan terlaksananya kebebasan politik (political freedom) setiap warganegara[1]. Dalam perkembangan penerapannya di Indonesia, ajaran Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan dikembangkan menjadi pemisahan kekuasaan (distribution of powers) yang menekankan adanya pemisahan fungsi saling kontrol (checks and balances) antara berbagai cabang penyelenggara negara dengan tetap mempertahankan prinsip kekuasaan yang merdeka.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan salah satu tonggak baru dalam sejarah peradilan Republik Indonesia karena dengan undang-undang tersebut maka berlakulah sistem peradilan satu atap (one roof system). Kemerdekaan kekuasaan kehakiman ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 204 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Pengertian “merdeka” dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUDNRI Tahun 1945.

Reformasi pada dasarnya merupakan suatu gerakan moral dan kultural (moral and cultural movements) untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip negara hukum menurut UUDNRI Tahun 1945 dengan menempatkan hukum sebagai sesuatu yang supreme dalam kehidupan bersama sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.

Pemisahan kekuasaan yang tegas antara fungsi kekuasaan eksekutif dan yudikatif sejatinya merupakan kehendak rakyat Indonesia sejak lama yang kemudian tercermin dalam Tap MPR-RI Nomor X/MPR/1998. Pemerintah menyadari sepenuhnya kehendak rakyat yang tercermin dalam Tap MPR tersebut, yang menginginkan terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, dalam Tap MPR tersebut, khususnya BAB C (Hukum), ditegaskan perlunya reformasi di bidang hukum untuk mendukung penanggulangan krisis di bidang hukum. Salah satu amanat dalam Tap MPR tersebut yang harus dijalankan adalah “pemisahan yang tegas antara fungsi kekuasaan eksekutif dan fungsi kekuasaan yudikatif.”

Pemisahan ini dilaksanakan dengan mengalihkan organisasi, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan yang semula di bawah departemen-departemen yang bersangkutan menjadi di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Hal tersebut disebabkan karena dalam perjalanan waktu lebih dari tiga dasawarsa terbukti pelaksanaan “kekuasaan kehakiman yang merdeka” itu ternyata tidak sepenuhnya dilaksanakan dengan baik, dimana terdapat indikasi berbagai penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang peradilan.

Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur bahwa peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan. Untuk Mahkamah Agung, memang daitur bahwa Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi, dan keuangan tersendiri. Namun, penentuan organisasi, administrasi dan keuangan Sekretariat Mahkamah Agung itu dilakukan oleh Pemerintah dengan bahan-bahan yang disampaikan oleh Mahkamah Agung.

Dengan pengaturan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pada masa itu muncul pameo di masyarakat bahwa “hakim itu ‘kepala’nya ada di Mahkamah Agung, namun ‘perut’nya ada di Pemerintah”.

Kebijakan yang diterapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman itu kemudian diubah dengan sistem peradilan satu atap (one roof system) berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Dalam perkembangannya, saat ini Undang-Undang 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman diganti dengan Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai dasar untuk melakukan penataan sistem peradilan yang terpadu guna mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa dan penyesuaian terhadap perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut UUDNRI Tahun 1945.

E. Penutup
Demikianlah 3 (tiga) pelajaran penting dari sekian banyak pelajaran yang dapat diambil dalam dinamika ketatanegaraan dan peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya pada periode reformasi konstitusi. Ketiga pelajaran ini dapat kita rasakan sekarang dan di kemudian hari sebagai pelajaran yang sangat berharga dalam mengembangkan struktur ketatanegaraan dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Momentum suksesi kepemimpinan nasional 1998 memberikan pelajaran bahwa alasan dan prosedur suksesi kepemimpinan menjadi sangat penting guna menjaga stabilitas nasional.

Selanjutnya, dukungan regulasi yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme merupakan suatu pilihan politik yang sangat berani dan progresif, meskipun di kemudian hari dan hingga saat ini hal ini masih terus menjadi bahan diskusi yang tidak pernah mati.

Terwujudnya peradilan satu atap (one roof system) juga merupakan salah satu perkembangan ketatanegaraan yang sangat signifikan dalam mewujudkan supremasi hukum di Indonesia, karena terbukti selama lebih dari 3 (tiga) dasawarsa hal ini belum sempat diwujudkan oleh para penguasa dan ahli hukum pada masa sebelumnya.

Amandemen UUDNRI Tahun 1945 bukanlah hasil akhir dari proses reformasi konstitusi, melainkan hanya sebuah tahapan untuk semakin mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945.

Daftar Pustaka

Buku
A.M. Hendropriyono, Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, dan Islam, Cet. ke-1, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta: 2009.

Abdul Rohim Ghazali. Yusril Ihza Mahendra, Sosok Politisi Muda Muslim: Pandangan dan Harapan tentang Indonesia Masa Depan, Edisi ke-1, Cet. ke-1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1999.

Afnil Guza (editor). Tiga UUD Republik Indonsia, cet. ke-6, Asa Mandiri, Jakarta: 2006.

Andang B. Malla, M. Saleh Mude, dan M. Fuad Nashar (Editor). Yusril Ihza Mahendra: Rekonsiliasi Tanpa Mengkhianati Reformasi (Versi Media Massa) , Cet. ke-1, Penerbit Teraju (PT Mizan Publika), Jakarta: 2004.

Bagir Manan. Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Pusat Penerbitan LPPM Universitas Islam Bandung, Bandung: 1995.

-------. Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004, Cet. ke-1, FH UII Press, Yogyakarta: 2007.

Cappelletti, Mauro. The Judicial Process in Comparative Perspective, Clarendon Press, Oxford: 1989.

Firdaus Syam. Yusril Ihza Mahendra: Perjalanan Hidup, Pemikiran, dan Tindakan Politik, Cet. ke-1, PT Dyatama Milenia, Jakarta: 2004.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002 (Buku I: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945), Cet. ke-1, Edisi Internal, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: 2008.

-------, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002 (Buku IV: Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 1), Cet. ke-1, Edisi Internal, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: 2008.

-------, Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002 (Buku VI: Kekuasaan Kehakiman), Cet. ke-1, Edisi Internal, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: 2008.

-------, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002 (Buku VIII: Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia, dan Agama), Cet. ke-1, Edisi Internal, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: 2008.

Montesquieu, The Spirit of the Law (translated by Thomas Nugent), Hafner Press, NY: 1949.

MPR-RI: Sejarah, Realita, dan Dinamika, Sekretariat Jenderal MPR-RI, Jakarta: 2007.

Sabar Sitanggang, dan M. Ichwan Ridwan (Penyunting). Mengenang Perppu Anti Terorisme, Cet. ke-1, ISBN: 979-97333-9-1.

Strong, C.F. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern (terjemahan dari Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form karya C.F. Strong. Penerjemah: SPA Teamwork) , Cet. ke-2, Nusa Media, Bandung: 2008.





Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

-------, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman .

-------, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

-------, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002.

-------, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

-------, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

-------, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

EndNote:
[1] Montesquieu mengartikan political freedom sebagai a tranquility of mind arising from the opinion each person has of his safety. In order to have this liberty, it is requisite the government be so constituted as one man need not be afraid of another. (Montesquieu,The Spirit of the Law (translated by Thomas Nugent), Hafner Press, NY: 1949, hlm.151.

Link Terkait
Hukum
Konstitusi
Reformasi
Kosong
Kosong
Kosong
Kosong
Kosong
Kosong
Kosong
Kosong
Kosong
Kosong
Kosong
Kosong
Kosong
Kosong
Kosong
Kosong
Kosong



Tidak ada komentar:

Posting Komentar